Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V dan Akuntansi

Hampir 2 minggu yang lalu saya baru saja menyelesaikan kajian dampak PMK 191 yang terkait dengan paket kebijakan ekonomi jilid V mengenai periode promo yang ditawarkan pemerintah untuk melakukan revaluasi aset. Sebenarnya sampai siang tadi saya kurang tertarik membahas kebijakan tersebut, namun karena ada pembahasan di media dan membaca komentar menteri yang saya rasa kurang pas, saya langsung terusik untuk membahas hal ini.

Singkatnya, PMK ini baru ditandatangani sekitar minggu ke tiga Oktober lalu, namun gaung kebijakan revaluasi ini sudah terdengar di lingkungan BUMN sejak beberapa minggu sebelumnya.

Isu dari PMK ini adalah, pemerintah membuka periode promo bagi semua entitas untuk merevaluasi aset tetapnya. Jika dilakukan sampai 31 Desember tahun ini entitas hanya terkena pajak 3%, jika dilakukan di bulan Juni tahun depan hanya terkena 4%, dan jika dilakukan di 31 Desember tahun depan hanya terkena pajak 6%. Tarif normalnya 10%. Intinya, pemerintah menganggap bahwa revaluasi aset menguntungkan untuk entitas karena dapat merestrukturisasi struktur modalnya, dan pemerintah ingin mendapat pemasukan pajak dari revaluasi ini.

Masalahnya, apakah konsep revaluasi yang ada di benak pemerintah ini menguntungkan entitas? Bahkan ada beberapa pejabat yang karena saking gencarnya promosi sampai membuat komentar yang ‘misleading’ seperti misalnya, ini merupakan kesempatan besar bagi entitas untuk meningkatkan modalnya, BUMN yang tidak melakukan revaluasi akan merugi, dan entitas lain yang tidak melakukannya kurang pintar.

Memang pemerintah sangat bersemangat mempromosikan paket kebijakan jilid V ini, terutama karena target pajak tidak tercapai. Tapi permasalahannya, apakah kebijakan ini benar-benar bermanfaat untuk entitas?

Mari kita tinjau bersama.

Dalam promonya, pemerintah beranggapan bahwa revaluasi yang ditawarkan dapat memperbaiki struktur permodalan entitas, sehingga entitas dapat menarik investor maupun kreditur. Tawarannya adalah, entitas dalam melakukan revaluasi boleh pilih aset yang mana saja, dan karena sudut pandangnya pajak, maka revaluasi harus hasilnya surplus (nilai aset naik). Anggapan pemerintah, kalau nilai aset naik, maka struktur ekuitas naik. Enitas untung pemerintah untung.
Masalahnya, kalau tujuannya untuk menarik investor dan kreditur, tentu saja yang harus digunakan adalah laporan keuangan bukan laporan pajak. Kalau laporan keuangan, dasarnya adalah SAK. Berdasarkan PSAK 16, entitas boleh memilih model revaluasi, namun sekali pilih model revaluasi, entitas harus konsisten menerapkannya. Jadi, entitas harus merevaluasi asetnya di kemudian hari jika ada indikasi perubahan nilai wajar aset. Secara akuntansi, revaluasi hasilnya tidak selalu surplus. Sangat dimungkinkan aset nilainya turun. Jadi, bisa saja saat ini aset nilainya naik, tetapi di kemudian hari nilainya turun karena revaluasi. Sehingga entitas perlu memikirkan dampak ini di masa mendatang.

Secara akuntansi, jika pada saat awal dilakukan revaluasi hasilnya surplus, maka surplus ini diakui di dalam ekuitas yang terpisah dari modal maupun saldo laba. Artinya,   investor atau kreditur yang memahami akuntansi pasti akan melihat bahwa kenaikan elemen ekuitas karena hasil dari revaluasi, bukan dari hasil kinerja keuangan atau penambahan modal. Di sini konsep yang diusung pemerintah menjadi tidak relevan.

Di kemudian hari, jika revaluasi hasilnya nilai aset turun, maka entitas akan mengurangi surplus yang sebelumnya diakui dan jika masih ada sisa, sisa penurunan nilai ini diakui di laba rugi. Jika memang sisa dan masuk ke laba rugi, maka secara tidak langsung penurunan nilai karena revaluasi ini dapat mengurangi pajak. Namun jika tidak ada sisa dan hanya menguragi surplus revaluasi, penurunan nilai ini bukan merupakan komponen pengurang pajak. Hal ini patut diwaspadai.

Selanjutnya, dari segi rasio keuangan, untuk entitas yang fokus rasionya di ekuitas (misalnya rasio DER), seperti perbankan, revaluasi bisa sangat menggiurkan karena ekuitasnya meningkat. Namun untuk entitas yang fokus rasionya di aset (Misalnya ROA, ROI, TATO), seperti KKKS, revaluasi akan memberatkan rasio tersebut karena nilai asetnya meningkat.

Dahulu kala, revaluasi memang biasa digunakan untuk memperbaiki struktur ekuitas. Apalagi pada jaman kuasi reorganisasi masih diizinkan. Entitas yang saldo labanya negatif bisa menjadi nol dengan melakukan revaluasi (fresh start accounting). Namun di era IFRS ini, revaluasi lebih merupakan suatu metode yang digunakan untuk menyajikan nilai aset secara jujur dan wajar (true and fair). Niat utamanya adalah untuk mencerminkan manfaat ekonomik sesungguhnya dari aset yang dikuasai entitas, bukan ‘mempercantik’ posisi keuangan. Jadi jangan sampai niat kejar setoran pajak pemerintah menodai nilai luhur akuntansi keuangan yang diusung dalam revaluasi aset tetap.

Praktiknya, jika entitas ingin menerapkan revaluasi maka entitas harus menerapkan secara PSAK, dan jika diterapkan dalam periode promo PMK 191, maka entitas akan mendapat keuntungan pajak. Namun perlu diingat, revaluasi tidak menghasilkan dampak aliran kas apapun kecuali aliran kas keluar untuk membayar pajak revaluasi.

Revaluasi bisa mempercantik laporan sehingga dapat menggoda investor maupun kreditur. Tetapi hasil dari menggoda ini belum tentu ada. Jika yang digoda paham seluk beluk akuntansi, revaluasi apalagi dengan niat seperti ini tidak akan berdampak apapun.

Terakhir, jika entitas menerapkan revaluasi, apa dampak makro perekonomian yang pasti didapat selain pemerintah mendapat pemasukan pajak? Apakah bisnis jadi lebih bersemangat? Pengangguran berkurang? Mari kita pikirkan lebih dalam…

-ditulis melalui ponsel pintar setelah terjebak macet selama 3 jam dalam perjalanan pulang.

Leave a comment