Kuasi Reorganisasi

Kuasi Reorganisasi

Sebuah perusahaan yang sedang mengalami masa-masa buruk dalam beberapa periode (yang berdasarkan KEP-16/PM/2004, beberapa periode ini adalah 3 tahun berturut-turut), mengalami kerugian berturut-turut yang mengakibatkan saldo laba negatif. Walaupun perusahaan memiliki stockholder’s equity yang cukup besar, namun saldo laba negatif mengakibatkan perusahaan tidak dapat membagi dividen.

Setelah manajemen melakukan kajian atas going concern, ternyata perusahaan masih memiliki kemampuan untuk berkinerja lagi dan mengembalikan profit di periode berikutnya. Hal ini bisa terjadi dengan cara misalnya, perusahaan mengurangi jumlah pegawai dan mengefisienkan pusat-pusat biaya. Dalam kondisi semacam ini, perusahaan dapat melakukan kuasi reorganisasi.

Kuasi reorganisasi dilakukan dengan cara merevaluasi aset dan kewajiban pada satu titik waktu tertentu yang ditentukan manajemen, dan memasukkan hasil revaluasi aset bersih ini ke saldo laba negatif sehingga saldo laba menjadi nol. Kemudian, sisa dari revaluasi dimasukkan ke dalam pos selisih revaluasi. Dengan demikian, perusahaan dapat memulai kembali kinerjanya dari nol dan mengembalikan profit di periode selanjutnya. Dalam peraturan, perusahaan sebisa mungkin melakukan kuasi reorganisasi hanya satu kali saja.

Fresh Start Accounting

Konsep dari fresh start accounting adalah menghapus catatan akuntansi sebelumnya, dan memulai lagi catatan baru. Fresh start accounting sangat berkaitan dengan kebangkrutan perusahaan. Secara prinsip, fresh start accounting dilakukan dengan cara membuat saldo laba perusahaan menjadi nol. Secara teori, posisi ini membuat persamaan akuntansi kembali ke persamaan dasar yaitu, Aset = Liabilitas + Ekuitas, yang mana dalam persamaan ini, kinerja perusahaan dimulai lagi dan tidak mempengaruhi komponen ekuitas karena saldo labanya nol. Dengan kata lain, perusahaan memulai kembali akuntansinya dari awal. Seringkali fresh start accounting dilakukan dengan menggunakan kuasi reorganisasi, yaitu mengubah basis penilaian aset dan kewajiban perusahaan dari historical cost ke fair value pada suatu titik waktu tertentu. Penentuan titik waktu untuk melakukan fresh start ada di tangan manajemen, walaupun tanggal kebangkrutan ditentukan oleh pengadilan.

Revaluasi

Kuasi reorganisasi adalah konsep akuntansi yang berasal dari US GAAP. Salah satu prinsip akuntansi yang digunakan dalam US GAAP adalah Historical cost. Dalam prinsip ini, historical cost merupakan basis pengukuran untuk elemen-elemen dan pos-pos dalam akuntansi. Berdasarkan konsep historical cost (yang mana nilai yang melekat dalam elemen/pos merupakan cost bawaan dari masa lalu), pada suatu ketika nilai buku pasti akan memiliki perbedaan dengan nilai wajar kini. Kondisi semacam ini membuat kuasi reorganisasi yang dalam arti lain adalah ‘menyesuaikan nilai aset dan kewajibannya dari cost ke nilai wajar kini’ menjadi mungkin. Walaupun berdasar konsep penilaian dalam prinsip akuntansi sebelum munculnya IFRS, nilai yang dilekatkan dalam elemen/pos adalah attached cost, yaitu cost yang benar-benar terjadi dan berasal dari transaksi antara dua pihak (internal atau eksternal) yang setara dan berkeinginan. Cost yang masih bersifat hypothetical dan belum benar-benar terjadi tidak dapat dilekatkan ke elemen/pos.

Berdasarkan IFRS, prinsip akuntansi yang digunakan tidak lagi hanya historical cost namun juga fair value (nilai wajar). Dalam IFRS, model yang digunakan untuk menilai elemen/pos menggunakan nilai wajar disebut dengan model revaluasi. Dalam model ini, revaluasi dilakukan pada setiap periode pelaporan (tanggal neraca). Jika sebuah entitas sudah memilih untuk menggunakan model revaluasi, maka seterusnya entitas tersebut harus menggunakan model revaluasi. Hal ini bertujuan agar nilai yang dilekatkan dalam elemen/pos akan selalu wajar atau merefleksikan nilai yang sebenarnya (dapat dipengaruhi pasar atau perekonomian makro) secara terus menerus. Oleh karena itu, berdasarkan IFRS proses kuasi reorganisasi menjadi tidak masuk akal lagi untuk dilakukan.

Secara konsep, kuasi reorganisasi merupakan suatu hal yang tidak nyata (dari asal katanya, kuasi berarti semu). Oleh karena itu, nilai yang merupakan hasil dari revaluasi cenderung bersifat manipulatif. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, aset dan kewajiban perusahaan dinilai menggunakan historical cost. Bila suatu perusahaan akan melakukan kuasi reorganisasi, perusahaan harus menunggu suatu titik waktu tertentu ketika nilai wajar dari aset dan kewajiban yang dimilikinya dapat digunakan untuk membuat saldo laba negatif menjadi nol (hanya dalam kondisi demikian kuasi reorganisasi dapat dilakukan). Dalam keadaan perekonomian yang tidak stabil, kuasi reorganisasi dapat menjadi menyesatkan. Hal ini dikarenakan revaluasi hanya dilakukan pada satu titik dan berdasarkan peraturan hanya boleh satu kali saja. Padahal nilai aset dan kewajiban dapat berubah lagi pada periode atau bahkan titik waktu selanjutnya. Selain itu, nilai selisih revaluasi yang merupakan sisa dari revaluasi aset dan kewajiban yang digunakan untuk membuat saldo laba negatif menjadi nol, dibawa terus oleh perusahaan.

Kesimpulan Teoritis

Kuasi reorganisasi merupakan kejadian buatan (synthetic event). Hal ini dikarenakan revaluasi dilakukan hanya pada satu titik waktu tertentu yang ditentukan atas kebijakan manajemen. Selain itu, kejadian ini tidak melibatkan pihak lain, baik internal maupun eksternal. Berdasarkan penjelasan-penjelasan teoritis di atas, konsep kuasi reorganisasi sudah tidak relevan lagi untuk dilakukan.

18 thoughts on “Kuasi Reorganisasi

  1. jadi pak.menurut pabu ind dan ifrs perbolehkan kuasi reorganisasi tdk?soalny br pertama x dengar.sangat menarik perhatian.
    Dan pak yohanes perbolehkan sy utk request utk bs membuat artikel tentang perbedaan gaap us,ifrs sama psak tdk?lbh spesifikny bs ditampilkan contoh?soalny saya pernah mendapatkan suatu email tentang perbedaan ke3 itu tetapi masih kurang mengerti.

    1. IFRS memiliki model revaluasi, yang mana jika suatu entitas sudah menggunakan model revaluasi, maka untuk seterusnya harus terus menggunakan model revaluasi. Revaluasi dalam IFRS ini dilakukan setiap akhir periode pelaporan. Dalam kuasi, entitas menggunakan dasar historical cost model, kemudian menggunakan revaluasi pada titik kuasi yang ditentukan manajemen. Setelah itu, entitas kembali menggunakan historical cost model. Konsep semacam ini jelas bertentangan dengan IFRS. Oleh karena itu, jika PABU Indonesia mau dikonvergensikan dengan IFRS, maka standar mengenai kuasi reorganisasi ini harus dicabut.
      Kajian masih terus dilakukan karena banyak sekali entitas di Indonesia yang sudah melakukan praktik kuasi. Paling ideal jika kuasi dicabut, maka penerapannya berlaku retrospektif (mundur ke belakang), hal ini menjadikan semua entitas yang pernah melakukan kuasi harus mengubah pelaporan keuangannya mulai dari titik kuasi, sehingga seluruh laporan keuangan sejak titik kuasi menjadi bersih dari praktik kuasi (seakan-akan tidak pernah melakukan kuasi). Hal ini ditujukan agar laporan keuangan entitas untuk selanjutnya akan konvergen dengan IFRS. Namun hal semacam ini akan sangat berat untuk dunia praktik di Indonesia, karena kebanyakan yang melakukan kuasi adalah sektor perbankan. Hampir sebagian besar bank-bank besar di Indonesia pernah melakukan kuasi. Kajian sejauh ini, mungkin karena peraturan perbankan yang cukup ketat. Bila kuasi dicabut dan diterapkan secara retrospektif, kemungkinan akan terjadi pergolakan kedua dari sektor perbankan setelah penerapan PSAK 50-55. Kita tunggu saja hasil keputusan dewan nanti.
      Untuk artikel tentang perbedaan, artikel dari PWC saya rasa sudah cukup bagus. Mungkin itu saja dijadikan bahan kajian dengan teman-teman, satu minggu dua kali membahas satu standar dan perbedaan-perbedaannya. Saya sudah join di milis yang dibuat oleh Ridwan. Mungkin kita bisa bahas di milis tersebut. Satu minggu membahas satu atau dua standar. Kalau saya membuat artikel, waktunya masih belum ada, selain itu kajiannya akan jadi banyak sekali. Menurut saya akan lebih baik kalau kita bahas saja di milis dengan banyak orang yang memberikan masukan.
      Sukses selalu.

      Salam,

  2. sepertinya cara retrospektif ini sulit dilaksanakan.
    Menurut saya lebih ideal apabila constraint industry practice diterapkan.atau perbolehkan kuasi reorganisasi sebelum konvergensi ke ifrs tetap berlakukan dgn historical cost.selanjutny diperlakukan sesuai ifrs.
    Hasilnya tidak meribetkan perusahaan yg mlakukan kuasi reorganisasi sebelum konvergensi ke ifrs lalu selanjutny kita bisa mengikuti sesuai aturan yg berlaku.

    1. Pilihannya kalau nggak retrospektif, prospektif, tau prospektif catch up. Tapi kalau untuk pencabutan PSAK 51, paling masuk akal ya retrospektif. Retrospektif istilah lainnya adalah berlaku surut, jadi semua transaksi kebelakang yang pernah kena kuasi harus disesuaikan (disusun ulang) sehingga perusahaan tidak pernah mengalami kuasi. Seakan-akan sama seperti kembali ke masa lalu dan mengubah kelahiran seorang penjahat yang di masa depan melakukan kesalahan besar.

  3. pak saya mau tanya, tentang corporate liquidation dan reorganization itu IFRS/IAS yang nomor berapa ya?

    1. di IFRS/IAS tidak ada. Reorganisasi biasa diatur oleh regulator pasar modal seperti SEC. Khusus di Indonesia, karena permasalahan krisis moneter tahun 1998, kuasi reorganisasi diatur secara khusus dalam PSAK 51. Selain juga ada kaitan dengan peraturan Bapepam. Jadi, kalau mau cari pengaturan mengenai likuidasi atau reorganisasi, silakan cari di peraturan pasar modal atau undang-undang PT atau peraturan hukum.
      Salam,

  4. Pak, kalau kuasi dicabut karena alasan tidak konvergensi dan berlaku secara retrospektif yang nyatanya berat diterapkan dalam dunia praktik, apakah hal tersebut tidak akan menimbulkan moral hazard. Apalagi kuasi ini banyak dilakukan oleh perbankan yang notabene salah satu roda perekonomian di Indonesia. Mungkin saran saya jika memang akan dicabut ketentuan transisinya prospektif catch up supaya praktis. Mengingat perbankan baru saja (1 Januari 2010) mulai menerapkan PSAK 50 dan PSAK 55 yanga mana perubahannya sangat signifikan, saya yakin SDM perbankan masih dalam tahap pembelajaran PSAK 50 dan PSAK 55, mereka masih dalam proses penyesuian.
    Lalu, apakah Bapak sudah mengkaji negara mana yang sudah melakukan kuasi namun juga sudah menerapkan IFRS. Kalau memang ada hal itu bisa dijadikan referensi.
    Jika memang dicabut, DSAK harus memikirkan dampak perekonomian di Indonesia, dan apakah bapak ada kajian mengenai bagaimana jika perbankan tidak boleh lagi melakukan kuasi?

    1. DSAK & Bapepam sudah mengadakan beberapa kali rapat koordinasi terkait kuasi ini. Bapepam & DSAK tentu saja tidak akan mengambil keputusan yang berisiko & masih terus melakukan kajian. Dalam pertemuan terakhir, kemungkinan besar kuasi akan dicabut dengan penerapan prospektif. Konsep kuasi sudah tidak tepat lagi karena mengganti model biaya ke model revaluasi hanya pada 1 titik waktu saja. Dalam IFRS, sekali memilih model revaluasi akan terus pakai itu.
      Negara lain yang masih menggunakan kuasi hanya Filipina. Itu juga pengaturannya ada di regulasi SEC, bukan di Standar Akuntansi (karena standar akuntansi Filipina konvergen dengan IFRS). Saat ini Indonesia masih terus mengadakan kontak dengan Filipina, baik dewan standarnya maupun SECnya untuk membahas permasalahan kuasi.
      Nanti ketika Exposure Draft pernyataan pencabutan sudah ada, kemungkinan Bapepam akan memberi kesempatan bagi emiten-emiten yang masih bermasalah dengan defisit luar biasa (efek krismon th 98), untuk melakukan kuasi.
      Jika PSAK 51 memang jadi dicabut, sebetulnya saat ini sudah ada beberapa solusi dalam PSAK yang konvergen dengan IFRS, misalnya:
      1. PSAK 16. Dalam PSAK 16 terdapat pengaturan mengenai revaluasi. Entitas dapat memilih model revaluasi. Revaluasi yang dilakukan entitas dapat memperbaiki kondisi ekuitas. Hal ini akan cukup membantu membuat neraca terlihat lebih baik. Selain itu analisis laporan keuangan menggunakan rasio seperti Debt to Equity Ratio, bukan analisis per pos.
      2. PSAK 10. Dalam PSAK 10 ini terdapat pengaturan mengenai persyaratan penggunaan mata uang fungsional. Pengaturan ini akan mencerminkan nilai entitas saat terjadi inflasi.
      3. PSAK 63. PSAK 63 mengatur pelaporan keuangan dalam kondisi hiperinflasi.
      4. Good Corporate Governance dan PSAK 50. Di sini diatur mengenai risk management dan disclosure atas risk management.
      Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. PSAK 51 ini memang topik yang sangat menarik untuk diikuti.

  5. Bapak, nama saya Mayang dan saya mahasiswi yang sedang mengambil skripsi tentang Dampak Konvergensi terhadap Kuasi Reorganisasi. Apabila bapak tidak keberatan, saya ingin bertanya, literatur apa saja yang harus saya baca selain peraturan bapepam dan PSAK yang berkaitan dengan teori kuasi reorganisasi ini? karena ilmu saya ttg kuasi reorganisasi blm sepenuhnya paham namun saya tertarik untuk membahas bidang ini.

    Terima kasih.

    1. Wah, ketertarikan anda memang cukup bagus. Tetapi sayang sekali, topik dampak konvergensi terhadap kuasi sebentar lagi akan menjadi tidak relevan. Pada minggu ke-3 bulan ini, DSAK akan mengeluarkan eksposure draft pencabutan kuasi. Hal ini berarti sudah terdapat kajian menyeluruh dari segi teori & praktik. DSAK juga melibatkan tim Bapepam dalam mengkaji, dan melakukan kontak dengan regulator di negara lain. Solusi untuk pencabutan kuasi juga sudah ada, beberapa akan dicantumkan dalam eksposure draft.. Saya sarankan lebih baik anda mengganti topik lain, jangan sampai ‘re-inventing the wheel’..
      Pada tahun 2011 ini IFRS yang belum diadopsi tinggal sedikit. Salah satunya IAS 41, IFRS 4, & IFRS 6. Ketiganya memiliki isu menarik tersendiri, itulah mengapa diadopsi paling akhir. Mungkin salah satu dari tiga hal ini bisa dijadikan topik pengganti..

      Salam,

  6. pak saya mau tanya kalo ngra sprti hongkong,singapura,filipina itu sblm mmkai standar ifrs itu memakai apa?dan tgl berapa peralihannya?

  7. Saya tertarik sekali dengan tulisan mas Handoko tentang kuasi reorganisasi dan penerapan IFRS. Yang ingin saya tahu, jika akhirnya aturan kuasi tidak relevan dgn IFRS yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2012, bagaimana dengan nasib emiten2 yang saat ini masih mengalami saldo negatif (defisit) akibat krisis 1997 dan 2008? Jika mereka tidak mungkin lagi melakukan kuasi, apakah masih mungkin dengan IFRS para emiten, setidaknya ada sekitar 55 yang masih defisit, bisa menghapuskan defisit itu? Sebab, jika defisit itu tidak terhapus (yg nilainya triliunan), sementara bisnis emiten masih prospektif, sangat sulit bagi mereka untuk bisa memberikan dividen bagi investornya. Padahal salah satu daya tarik investor untuk berinvestasi adalah dividen. Menurut Anda bagaimana solusi untuk mengatasi masalah ini dengan IFRS? terima kasih atas jawabannya. Salam, Kun.

    1. Saat ini pihak dari Bapepam sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan bahwa pengaturan kuasi akan dicabut, sehingga emiten-emiten yang ingin melakukan kuasi, diharapkan untuk segera menjalankan proses kuasi (yang mana tahapannya cukup banyak – cek peraturan Bapepam). Hingga saat ini, PSAK 51 sendiri belum efektif dicabut & masih dalam bentuk eksposure draft. Pihak yang cukup gencar untuk mempertahankan kuasi sementara ini adalah Bapepam dengan komentar-komentarnya atas ED (bisa jadi karena ada emiten besar dan berpengaruh secara politis sedang dalam proses kuasi? – cek di berita mengenai kondisi keuangan & rencana Bakrie Brothers).
      Sebuah alasan utama kenapa kuasi dicabut adalah, karena secara konsep akuntansi sudah tidak lagi relevan & bahkan salah. Mengingat juga tujuan awal dibuatnya standar ini pada tahun 1997 yaitu untuk menyelamatkan banyak entitas dari kondisi krismon. Namun, seiring berjalannya waktu keadaan berubah & banyak hal tidak lagi menjadi relevan. Kuasi malah dijadikan alat untuk melakukan moral hazard, yaitu seperti yang saudara sebutkan, membagi dividen. Alasan bahwa kuasi menjadi cara untuk membagi dividen inilah yang menjadi alasan kuat kenapa kuasi memang harus dicabut.
      Sebetulnya, di negara asalnya sana (US), pengaturan mengenai kuasi diatur secara ketat. Bahkan suatu entitas harus masuk ke chapter 11 (mengenai kebangkrutan) dulu, baru bisa melakukan kuasi. Seperti kita tahu, ada 2 jenis kebangkrutan yang diatur di US, satunya masuk ke chapter 7 (harus likuidasi), satunya masuk chapter 11 (masih ada going concern & bisa dilakukan reorganisasi nyata – baru kuasi). Di Indonesia, pengaturan kuasi diatur ketat oleh Bapepam, namun pengaturannya tidak seketat di US (yang mana masuk ke ranah hukum, terkait ketat dengan kebangkrutan, dan diatur dalam 2 peraturan lain seperti aturan dari SEC & FASB).
      Sebagai penutup, berdasarkan PSAK yang saat ini sedang dikonvergensikan dengan IFRS, jika terjadi kondisi seperti tahun 1997 (defisit luar biasa karena kurs anjlok), sudah ada banyak PSAK yang bisa digunakan. Seperti misalnya menggunakan model revaluasi yang ditawarkan dalam PSAK 16, 13, 50-55, atau menggunakan PSAK 63 mengenai pelaporan dalam kondisi hiperinflasi yang digabungkan dengan PSAK 25 mengenai hierarki pengaturan akuntansi dalam kondisi tidak ada SAK yang similar, atau juga menggunakan PSAK 10 mengenai mata uang pelaporan. Jika anda cermati, banyak solusi untuk permasalahan awal yang menyebabkan munculnya PSAK 51: Kuasi Reorganisasi.
      Sekarang, tujuan dibuatnya PSAK 51 dan praktek dilakukannya kuasi sudah melenceng jauh. PSAK 51 digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang defisit karena memang kinerjanya buruk, manajemen keuangannya buruk, untuk membagi dividen dan bahkan untuk membersihkan neraca sebelum IPO. Inilah moral hazard yang harus dihindari.
      Semoga bermanfaat.

      Salam,

  8. pak saya mau bertanya, jika saldo laba negatif berpengaruh terhadap perusahaan dan apa pengaruhnya terhadap catatan akuntansi ?

Leave a reply to shinjikoko Cancel reply